Harus kita akui, bahwa ada sebuah dikotomi yang terjadi di negeri ini. Diawali dari dunia pendidikan dimana terjadi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama. Keduanya seolah berdiri sendiri tanpa adanya saling keterkaitan satu sama lain. Ilmu umum ya ilmu umum, ilmu agama ya ilmu agama. Benar-benar terpisah. Masih terekam dalam ingatan kita bagaimana ketika kita masih menempuh pendidikan di sekolah dasar atau pun menengah, sulit untuk menemukan perihal agama dalam pelajaran ilmu alam, bahkan menjadi mustahil kita temukan kata Allah dalam pelajaran ilmu sosial. Pun begitu yang ada dalam ilmu ekonomi. Yang kita pelajari hanya nilai-nilai penuh kebebasan tentang ekonomi, ajaran-ajaran yang menumbuhkan sikap materialistik, dan konsep yang menganggap manusia sebagai faktor produksi semata. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia pendidikan, namun kemudian merambat ke dunia kerja. Orang-orang hanya semata-mata mencari harta dalam bekerja. Tak ada motivasi ibadah dalam melakukan pekerjaan yang mereka geluti. Lebih memprihatinkannya lagi banyak yang tak mempedulikan aspek agama dalam mencari nafkah, sehingga terkadang menghalalkan segala cara. Yang terpenting mendapatkan uang untuk dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga. Buah dari pendidikan yang mengajarkan materialistik tadi.
Lahirnya International Development Bank (IDB) tahun 1975 di dunia internasional, dan Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 di negeri kita, menjadi tonggak bangkitnya kembali Ekonomi Islam yang selama ini seolah menghilang entah kemana. Bagi saya, bangkitnya Ekonomi Islam sama halnya dengan pudarnya dikotomi ilmu yang berlangsung berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun di negeri ini -yang merupakan warisan kolonial penganut paham imperialis dan liberalis. Mengapa? Karena Ekonomi Islam merupakan perpaduan ilmu umum (ilmu ekonomi) dan ilmu agama (fiqh muamalah dan ushul fiqh).
Implementasi awal dan paling nyata dari ilmu Ekonomi Islam ini adalah perbankan syariah. Perbankan syariah dalam bayangan saya, menjadi wadah setiap orang untuk beribadah. Ketika orang-orang ingin menabung, mereka benar-benar memperhitungkan agama dalam memilih tempat menyimpan uang mereka. Mereka ingin agar harta mereka dikelola secara syariah Islam. Begitu juga dalam melakukan pengajuan pembiayaan, ada harapan yang sama dalam benak mereka. Dan bagi orang-orang yang berada di bank syariah sendiri pun, mereka tidak hanya sekedar memperhitungkan gaji yang besar, namun melihat keberkahan dari gaji yang mereka dapat, sehingga harta yang digunakan untuk menafkahi keluarga pun menjadi berkah. Ada unsur agama dan motivasi ibadah yang masuk kedalam ranah ini.
Amatlah begitu besar harapan saya terhadap keberadaan perbankan syariah dalam upaya mereduksi bahkan menghilangkan dikotomi yang telah mengakar di semua lini di negeri ini. Walau butuh waktu yang tidak sebentar, saya sangat optimis hal tersebut akan tercapai. Saya sudah muak berabad lamanya kita menjadi manusia materialistis. Hanya semata-mata mengejar harta dan mengedapankan nafsu dalam mencari penghidupan di dunia ini. Padahal kita adalah khalifah yang Allah tugaskan untuk mengelola segala yang ada di dunia ini sebagai bentuk ibadah kita padaNya.
Saya berharap kedepannya perbankan syariah benar-benar mempertahankan prinsip-prinsip syariah dalam produk-produk yang dimilikinya. Bukan hanya menyesuaikan kebutuhan pasar tanpa mengindahkan prinsip-prinsip syariah tersebut. Demi mengejar keuntungan semata. Maka yang terjadi nanti, bukannya pasar yang menyesuaikan prinsip syariah, namun malah prinsip syariah yang menyesuikan pasar sehingga pudarlah kesyariahan bank syariah tersebut. Dan pudarlah harapan saya -dan mungkin harapan sebagian besar orang, yang begitu besar terhadap perbankan syariah dalam memajukan Ekonomi Islam sebagai bagian dari upaya memadukan ilmu umum dan ilmu agama.