“Kamu tahu ngga, setelah kita keluar dari bank dulu dan berpisah, aku berpindah dari satu dompet ke dompet lain. Dari dompet para eksekutif, dompet pejabat, hingga dompet para pengusaha telah aku singgahi. Aku berpindah dari satu toko ke toko lain. Dari toko swalayan, toko elektronik, toko perhiasan mewah, hingga showroom mobil telah aku rasakan. Tempat sehari-hariku adalah pusat-pusat perbelanjaan, hotel-hotel berbintang, hingga arena perjudian. Pokoknya semua tempat mewah aku kelilingi deh..! Hingga kemudian aku kembali lagi ke bank. Tapi itu ngga lama karena setelah itu aku diambil lagi lewat ATM, dan kembali merasakan kemewahan-kemewahan tadi. Makanya aku keliatan masih bersih, rapi dan tentunya keliatan masih baru.” Cerita selembar uang seratus ribu rupiah pada selembar uang seribu rupiah yang dipertemukan kembali dalam dompet seseorang setelah mereka terpisahkan begitu lama semenjak mereka keluar dari bank dulu. Seratus ribu terlihat begitu bangga dengan ceritanya itu. Ia kemudian bertanya pada kawannya, seribu, tentang nasibnya.
“Bagaimana denganmu, Seribu? Kau nampak begitu lusuh? Memangnya kemana saja kau selama ini?” Seratus ribu ingin tahu.
Sebenarnya seribu iri dengan cerita kawa lamanya itu, dia minder. Tak ingin ia bercerita tentang nasibnya. Tapi dengan penuh kepercayaan diri, dia bercerita, “Setelah keluar dari bank dulu, aku cukup bertahan lama didompet seseorang yang begitu sederhana. Tapi setelah itu lebih banyak diselipkan di kantong celana atau baju. Aku berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Aku berkeliling mulai dari tukang parkir, pedagang kaki lima, pedagang asongan, anak kecil, pelajar, mahasiswa, pengamen hingga pengemis. Hanya sesekali aku ada dipusat perbelanjaan. Aku lebih sering ada di pasar-pasar tradisional, pedagan kaki lima, angkot-angkot, tukang becak dan tukang ojeg. Keberadaanku begitu diidam-idamkan oleh para pengamen. Aku menjadi benda yang begitu diharapkan dan diminta-minta oleh para pengemis. Dan salah satu yang membuatku bahagia, aku dapt berkeliling dari satu mesjid ke mesjid lain, menjadi amal shodaqoh para jama’ah, terutama hari Jum’at. Aku menjadi senjata ampuh bagi mereka. Tapi terkadang aku juga jatuh begitu saja di jalanan, hingga tangan pengemis memungutku. Begitulah aku, makanya aku kotor dan lusuh seperti ini.”
Mendengar cerita tersebut, seratus ribu tiba-tiba berbalik iri pada apa yang telah dialami temannya, seribu. Perumpamaan seperti cerita tersebut sering kita temukan keberadaannya disekitar kita, atau bahkan terjadi pada kita sendiri. Kita terkadang begitu bangga dengan kebesaran kita, bangga dengan jabatan yang begitu tinggi, bangga dengan status sebagai seseorang yang begitu besar, bangga dengan harta yang begitu melimpah. Tanpa pernah kita bertanya sudahkah kita bermakna dengan kebesaran kita itu? Pernahkah kita berbuat untuk kebaikan sesama dengan tingginya jabatan kita itu? Sudahkah kita berbagi dengan harta yang melimpah kita itu?
Kita justru kalah oleh orang-orang yang sebenarnya kecil, tapi begitu berarti bagi lingkungannya. Mereka kecil tapi begitu berarti bagi masyarakatnya. Mereka tak pernah mencuat ke permukaan tapi begitu bermakna bagi sekitarnya. Mereka tak terkenal bahkan dan dikenal namun kontribusi mereka begitu besar bagi sesamanya.
Maka sesungguhnya kawan, hidup ini bukan bagaimana menjadi besar, tapi bagaimana menjadi bermakna..