Di sebuah pagi beberapa pekan lalu anak saya yang baru 11 bulan jarinya terjepit stroller. Luka yang cukup besar dan menganga pada jari mungilnya memaksa dokter di puskesmas terdekat harus menjahit dua jahitan pada lukanya. Saya teramat panik, selain karena ini pengalaman pertama dan sendirian mengurus anak usia belum setahun, juga karena ini adalah ‘kecelakaan’ pertama bagi anak saya dalam 11 bulan kehidupannya. Tak lama setelah itu, saya mengabari istri yang tempat bekerjanya satu jam perjalanan dari rumah. Dengan melihat anak sakit, menangis tanpa henti, dan ASIP-nya habis padahal belum tengah hari, saya minta istri untuk izin pulang dari kantornya. Sayangnya, setelah penjelasan panjang, debat virtual yang melelahkan dan penjelasaan detail keadaan pada atasan, izin tetap tidak diberikan.
Saya kesal dan marah, teramat. Saya pendam rasa itu. Hingga akhirnya muncul lah tulisan ini.
Belakangan saya tahu, ternyata persepsi dan kultur di kantor istri berbeda dengan apa yang saya pikirkan. Bahwa lembaga mereka justru punya target bagaimana anak tetap bisa bertumbuh kembang tanpa mengganggu atau terganggu dengan orang tua yang bekerja, terutama ibu yang bekerja. Bukan bagaimana ibu yang bekerja bisa tetap dapat merawat anaknya.
Saya pribadi makin menyesalkan persepsi dan kultur tempat bekerja yang dibangun seperti itu.
Harus diakui, iklim kerja perusahaan-perusahaan di Indonesia memang tidak mendukung terhadapĀ perempuan atau ibu yang bekerja. Seringkali tidak ada ruang laktasi untuk pumping di kantor, sedikit bahkan tidak tersedia tempat penitipan anak di sekitar kantor, tidak ada izin jika anak sakit, apalagi jika harus membicarakan membawa anak ke kantor. Sehingga kadang banyak juga kaum perempuan yang memutuskan resign bekerja setelah punya anak karena dilema yang dihadapi dalam bekerja.
Tapi di negara-negara maju di eropa dan negara-negara Skandinavia misal, urusan perempuan bekerja dan punya anak ini cukup fleksibel. Mulai dari cuti hamil dan melahirkan hingga 4 bulan, tersedia pilihan jam kerja yang fleksibel untuk mengurus anak, dapat membawa anak ke kantor bahkan ada program ‘Bring Baby to Work’ untuk bayi 6 minggu sampai 6 bulan, hingga para pejabat dan anggota dewan yang sering membawa bayinya ke kantor sekaligus berkampanye perihal ini.
Masih ingat foto ini bukan?
Lalu saya kemudian bersyukur bisa tetap berada di tempat bekerja sekarang. Izin jika anak sakit atau istri sakit lebih mudah, hingga bahkan boleh membawa anak ke tempat kerja atau ikut rapat. Melihat anak-anak usia 0 tahun hingga 5 tahun ikut rapat bukanlah hal yang aneh dan tabu. Di tempat saya bekerja saat ini hal itu adalah perkara biasa.
Selama tugas dan tanggung jawab sebagai pekerja tidak terabaikan, mengapa tabu membawa anak ke tempat pekerjaan? Saya sendiri selalu menekan pada istri, boleh dan akan saya dukung bekerja. Namun tugas dan tanggung jawab sebagai istri dan ibu tetap dijalankan tidak diabaikan. Jika bisa saya tangani, akan saya tangani. Jika tidak, masa iya saya harus menyusui?
Lalu saya sempat berpikir sekilas, apakah hal ini berkolerasi dengan tingkat kebahagiaan seseorang bahkan suatu negara? Yang kita tahu negara-negara Skandanavia masuk negara yang tingkat kebahagiaannya tinggi. Di tempat saya bekerja juga banyak sekali yang memiliki loyalitas tinggi terhadap lembaga, berpuluh-puluh tahun tinggal dan bekerja di sana. Bahkan ada yang mewakafkan diri alias medeklarkan seumur hidup akan tinggal dan bekerja di lembaga. Bukankah itu salah satu indikator tingkat kebahagiaan?
Namun sesungguhnya saya belum tahu banyak dan mencari tahu penelitian tentang korelasi ini. Lain waktu setelah menemukannya saya akan menuliskannya.
Tapi bukankah upaya peningkatan kualitas sebuah keluarga juga harus didukung oleh lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan yang ramah keluarga?
Sedih ya. Di negara ini kesannya profesionalitas tuh mengabaikan jati diri kita sebagai manusia. Sebagai seorang pekerja, harus profesional, dengan jam kerja tertentu, g boleh banyak ijin, tugas harus selesai, tapi kurang dimanusiakan. Anak sakit, ijin g masuk, potong gaji. Anak gda yg ngasuh, dibawa k sekolah, diomongin. Haha
Kesel banget sma mereka yg punya kekuasaan tapi kurang bijak. Seakan-akan mereka tahu segalanya, padahal banyak lubang menganga yang jelas terlihat dr kputusan2 yg mereka buat. Kerjaannya bikin aturan, tapi merekanya g merasakan bahkan g pernah lihat kondisi orang yg mereka atur.
Dikira kita ini robot mungkin. š