Pa Iwan K. Hamdan saat penanaman pohon di Assa’adah Global Islamic School (AGIS) [dok. Penulis] |
Rasanya baru kemarin saya diminta untuk mengambil foto di atas oleh beliau. “Untuk kenang-kenangan pribadi,” aku beliau sambil menyodorkan smartphone miliknya pada saya. Tak disangka itu adalah interaksi dan percakapan terakhir kami berdua.
Rasanya baru kemarin beliau menanyakan kabar saya dan masih mengingat nama saya walau hampir lebih dari 5 tahun kami tak bertemu dan berkomunikasi. Sambil bertanya, “Bagaimana kabar teman-teman? Dimana sekarang Iyus? Dimana sekarang Enggar? Dimana sekarang Nanda?” Disambung dengan ungkapan kesyukuran atas jawaban yang saya berikan. Jika waktu kami banyak, barangkali bisa saja semua teman-teman yang dikenalnya akan disebut dan ditanyakan.
Rasanya baru kemarin berkunjung ke rumah beliau bersama asatidz dari pondok. Rumah yang sama yang saya kunjungi hampir 5 tahun lalu. Rumah yang dari tampilannya kita tak akan percaya bahwa pemiliknya adalah seorang staff ahli bupati, seorang staff ahli gubernur, seorang doktor dan dosen S3, seorang ketua Badan Akreditasi Provinsi, dan jabatan publik lain yang tak pernah saya tahu. Dari beliau saya belajar kesederhanaan.
Rasanya baru kemarin saya diceritakan tentang bagaimana sekolah di bawah kaki gunung karang tempat saya mendapatkan ilmu dibangun dengan kepahitan dan kegetiran. Kemudian dijaga dan dipelihara oleh mimpi besar, usaha keras dan doa tiada henti. Hingga menjadi sebab sekolah itu tetap berdiri kokoh hingga kini. Dari beliau saya belajar bermimpi tinggi.
Rasanya baru kemarin beliau bilang, “Ikut terus sama ustadz Dadang, Ci.. Ambil ilmunya. Ustadz Dadang orang hebat”. Dan ternyata itu adalah nasihat terakhir sebelum kami tak akan pernah bertemu di dunia ini lagi.
Rasanya baru kemarin semua ini terjadi. Hingga kemudian saya tersadar bahwa dunia ini memang sebentar. Selamat jalan, Pa Iwan.. Sampai jumpa!
Allahumaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu’anhu.
Sungguh, saya pun bersaksi bahwa beliau adalah orang baik.