
Perkenalan intens saya pada konflik Palestina-Israel adalah saat remaja sekitar tahun 2000-an. Saat itu ada rangkaian peristiwa yang kita kenal sebagai Intifada kedua, lalu disusul meninggalnya pemimpin kharismatik Yasser arafat dan perang saudara antara Fatah dan Hamas sekitar 2007, hingga diakhiri dengan serangan militer Israel terhadap Palestina di 2008. Mungkin internet belum semasif seperti saat ini, tapi lewat media massa kami dapat mengikuti perkembangan dunia. Saya masih ingat betul saat itu, ada 2 orang teman SMA saya yang hendak izin sekolah karena ingin pergi ke Palestina. Entah saat itu mau unjuk rasa mendukung Palestina di Jakarta atau benar-benar ke Palestina. Tapi yang jelas kedua orang teman saya ini memang terkenal sebagai pembela garis keras Palestina. Pergi berjihad ke negeri para nabi tersebut adalah cita-cita mereka.
Rasa-rasanya semenjak itu, hampir setiap tahun saya mendengar berita di media baik massa ataupun elektronik konflik Palestina-Israel ini. Setidaknya setahun sekali. Dan mulai 7 Oktober 2023 kemarin, konflik ini kembali memanas. Bahkan ini menjadi awal Intifada ketiga yang hingga kini masih berlangsung. Berita-berita terkait ini bersebaran di media menghiasi hari-hari kita hampir sebulan terakhir.
Kita sebagai umat Islam, tentunya kita patut prihatin dengan peperangan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini. Selain karena warga penduduk Palestina sebagian besar adalah saudara seiman, juga karena Palestina adalah merupakan tempat paling suci ketiga bagi kita umat Islam setelah Mekkah dan Madinah. Namun katanya, tak perlu menjadi muslim untuk prihatin terhadap konflik dan peperangan ini, cukup jadi manusia saja. Terlebih bagi kita bangsa Indonesia, Palestina berada di barisan negara pertama yang mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus tahun 1945 lalu.
Dengan apa yang terjadi, kita semua pasti jengkel dengan konflik yang terus-menerus ini. Terlebih konflik ini seolah tidak seimbang jika kita lihat dari kekuatan militer. Ini seperti bukan peperangan, tapi pembantaian. Kekejaman-kekejaman yang bahkan diakui secara sadar oleh satu pihak, telah membuat kita pasti makin jengkel-jengkelnya. Saya tak dapat membayangkan jika hari-hari ini berada di Palestina, khususnya Gaza dengan segala ketakutan yang ada. Takut rumah hancur oleh bom saat terjaga bahkan terlelap, takut anak-istri-keluarga-sanak-saudara yang jadi korban tembakan. Jangankan itu, Dzakky jarinya berdarah karena kejepit stroller saya panik dan sedihnya luar biasa, apalagi lebih dari itu.
Banyak dukungan dari berbagai individu sebagai bentuk protes dan dukungan agar serangan Israel terhadap warga-warga sipil Palestina tak berdosa dari anak-anak hingga dewasa dihentikan. Mulai dari unjuk rasa turun, hingga dukungan di media sosial. Salah satunya dengan penggunaan ikon buah semangka. Buah semangka dipilih sebagai ikon yang menggambarkan dukungan terhadap Palestina agar terbebas dari konflik ini dengan beberapa alasan. Selain karena buah semangka mirip dengan warna bendera Palestina yang terdiri dari 4 warna: merah, hijau, putih dan hitam, kabarnya juga karena buah semangka tumbuh subur seluruh tanah Palestina. Sebenarnya penggunaan buah semangka sebagai ikon dukungan ini telah ada jauh sebelum ramai di media sosial seperti sekarang. Tepatnya tahun 1967, saat adanya pelarangan pengibaran bendera Palestina setelah perang Enam Hari Israel dengan negara-negara Arab. Jadi buah semangka ini semacam simbol pengganti pengibaran bendera Palestina.
Penggunaan ikon semangka yang kini kian menggema di ruang digital, mungkin karena dapat menggagalkan sensor algoritma atau fitur pemblokiran pengguna yang ada pada sejumlah media sosial. Seperti yang kita ketahui, dukungan terhadap Palestina seperti tabu jika di ranah media sosial. Karena hampir semua hal di dunia ini memang seolah telah berada di bawah kekuasaan kaum Yahudi di berbagi bidang. Jadi jangan heran jika nanti tulisan atau bahkana website ini mungkin kena blokir atau menghilang. Ya setidaknya jumlah pencariannya menurun.
Tapi itu salah satu jenis dukungan dan protes yang dapat kita lakukan, yang (mungkin) tak dapat dilakukan negara-negara besar lain yang kita lihat seolah bungkam. Saya sebagai orang awam memang kadang heran dan jengkel, invasi Rusia atas Ukraina kecamannya datang dari mana-mana, namun saat hal yang sama terjadi pada Israel kepada Palestina, banyak negara seolah bungkam dan diam saja.
Selain hal tadi, ada beberapa hal yang saat ini dapat kita lakukan sebagai bentuk dukungan terhadap saudara seiman kita di Palestina sana.
Pertama, tentunya mendoakan. Bisa dengan doa selepas shalat atau doa khusus seperti qunut nazilah di raka’at terakhir shalat fardhu. Saya masih ingat saat SMA dulu, saat konflik memanas di Palestina, hampir setiap shalat fardhu kami membaca qunut nazilah untuk mendoakan saudara-saudara kita di Palestina sana.
Kedua, selain sumbang doa, jika mampu bisa juga sumbang dana. Sumbang dana melalui lembaga terpercaya tentunya. Pilihlah lembaga-lembaga kemanusiaan terpercaya. Jangan heran jika saat ini ada saja pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, memanfaatkan musibah orang banyak demi memuaskan hasrat pribadi. Saya sendiri di Baduy Corner kini menyumbangkan keuntungan bisnis melaui Dompet Dhuafa Banten untuk saudara-saudara di Palestina. Atau bisa juga langsung melalui Kedutaan Besar Palestina untuk Indonesia di Jakarta.
Ketiga, terus menggemakan protes dan dukungan dalam bentuk nyata di media-media sosial atau bahkan dunia nyata. Dengan bentuk dan cara apapun. Jika tak bisa dengan lisan, bisa dengan tulisan. Jika tak bisa dengan aksi atau perbuatan, bisa dengan keberpihakan. Seapatis-apatisnya manusia, pasti punya keberpihakan. Tunjukkan!