Hukum Puasa Bagi Ibu Hamil, Boleh atau Tidak?

Tidak lama lagi kita akan berjumpa dengan bulan Ramadhan. Pada bulan ini setiap muslim yang telah baligh dan mukallaf diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Sesuai dengan firman Allah Swt., “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183)

Beberapa dari kita mungkin akan menjalani ibadah puasa dengan berbadan dua alias hamil. Ada ibu hamil yang berbuka ketika puasa, namun ada juga ibu hamil yang tetap berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Begitu yang selama ini terjadi di antara kita sebelum-sebelumnya.

Tahukah kamu bahwa puasa bagi ibu hamil adalah tidak diperbolehkan hukumnya? Namun hukum ini berlaku bagi ibu hamil yang memaksa berpuasa, dan puasanya mengancam keselamatan ibu dan bayinya. Padahal dalam keadaan tersebut ia diwajibkan untuk berbuka atau tidak berpuasa. Jika sesuatu yang wajib tidak dijalankan bukankah termasuk tidak boleh dilakukan? Lalu apa dan bagaimana hukum sebenarnya puasa bagi ibu hamil ini secara keseluruhan? Berikut kami sajikan penjelasannya.

Wajib Puasa Bagi Ibu Hamil

Puasa bagi ibu hamil menjadi wajib jika si ibu dalam kondisi sehat, kuat dan tidak meras berat serta tidak berpengaruh buruk atau membahayakan janin dalam kandungannya. Tidak ada udzur atau alasan yang memperbolehkannya tidak berpuasa. Namun bagi wanita yang sedang hamil dan ingin berpuasa, lebih baik berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Apakah ia benar-benar sehat dan janinnya juga akan sehat jika si ibu berpuasa. Hal ini untuk memastikan tidak hanya hanya mengandalkan praduga dan perkiraan semata.

Tidak Boleh Puasa Bagi Ibu Hamil

“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.” (H.R. An-Nasai dan Ibnu Majah)

Tujuan dari hukum ibadah atau syariat Islam yang kita lakukan selama ini dalam agama dikenal dengan maqashidu syariah. Maqashidu syariah terdiri dari hifdzuddiin (menjaga agama), hifdzunnafs (menjaga diri/jiwa), hifdzu’aql (menjaga akal), hifdzunnasb (menjaga keturunan), dan hifdzulmaal (menjaga harta). Maka hukum-hukum yang ada di Islam mengacu pada lima hal yang jadi tujuan-tujuan hukum tersebut. 

Maka jika puasa yang dijalani oleh Ibu yang sedang hamil membahayakan bahkan mengancam keselamatan diri ibu dan/atau si cabang bayi, maka diwajibkan untuk berbuka atau tidak berpuasa. Ukuran dapat membahayakan bahkan mengancam ini harus telah dipastikan. Baik oleh diri sendiri maupun orang yang kompeten, yaitu diagnosa dokter yang terpercaya. 

Mengqadha Di Hari Lain

Jika ibu yang sedang hamil lalu kemudian tidak berpuasa, maka ia wajib mengganti puasa sebanyak yang ditinggalkannya di hari yang lain. Terdapat perbedaan dalam hal ini, apakah si ibu hanya mengqadha saja atau membayar fidyah saja atau keduanya. Ibu yang hanya mengkhawatirkan kesehatan dirinya hingga ia tidak berpuasa, maka wajib atasnya hanya mengganti puasa di hari lain (mengqadha) tanpa tidak membayar fidyah. Puasa bagi ibu hamil golongan ini seperti puasa bagi orang yang sakit.

Sedangkan jika ibu tersebut tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kesehatan diri dan keselamatan bayinya, maka ia wajib menggantinya dengan membayar fidyah. Pendapat ini mengacu pada hadis, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (H.R. Abu Daud) Namun ada pula pendapat yang menyatakan bahwa ibu hamil harus melakukan keduanya, yaitu qadha dan fidyah. Karena hadis di atas tidak disebutkan mengqadha. Karena qadha puasa bagi yang meninggalkannya telah menjadi kebiasaan sehingga tidak perlu disebutkan.

Puasa bagi ibu hamil bisa boleh atau tidak diperbolehkan tergantung kepada kondisi si ibu. Apakah sanggup berpuasa atau tidak dengan mellihat dan mempertimbangkan keadaan si janin dengan terlebih dahulu mengkonsultasikannya dengan dokter terpercaya. Allah Swt. memberikan keringanan dan tidak memaksakan bagi yang tidak dapat melaksankannya sesuai firman-Nya bahwa Allah Swt. menghendaki kemudahan bagi umat-Nya dan tidak menghendaki kesukaran.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *