Negeri Seorang ‘Raja’

Terceritakanlah sebuah negeri dengan seorang raja. Tercipta dari puing-puing sisa kejayaan negeri sebelumnya yang tertulis tinta emas sejarah masa lalu. Setelah menunggu berabad-abad lamanya, negeri ini terlahir juga ke dunia. Selamat tanpa cacat. Senang bukan main sang raja. Atas kesyukuran itu, diberikanlah 5 dari 8 wilayah yang ada di bawah kekuasaannya pada kerabat-kerabat dan anggota keluarga.
Wilayah pertama dihibahkan pada adiknya bersama entah siapa.
Wilayah kedua diberikan pada iparnya bersama entah siapa.
Wilayah ketiga diserahkan pada ibu tirinya bersama entah siapa.
Wilayah keempat dihadiahkan pada adik tirinya sendirian saja.
Wilayah kelima sempat diperebutkan oleh utusan keluarga besar. Hingga kini masih dalam kecamuk perang yang tak ada yang tahu kapan usai.
Hanya wilayah keenam, ketujuh dan kedelapan yang tidak berikan pada anggota keluarga.
Entah sengaja karena takut dianggap serakah, atau memang ini hanya akan sementara. Namun tak usah khawatir, karena anak-anak dan beberapa anggota keluarga lain telah menjadi utusan negeri sang raja di khayangan. Itu saja sudah cukup.
Negeri ini kaya akan segala: hutan, laut, gunung, sawah, sungai, tambang, emas, perak, permata, mutiara, tanah, air, udara, semuanya! kecuali harta milik rakyat. Pendapatan negeri ini paling melimpah ruah sejagat raya. Sayangnya, sebagian besar rakyatnya termasuk budak-budak yang tak memiliki pekerjaan. Begitu kata khayangan. 2 dari wilayahnya pun termasuk 113 wilayah termiskin yang diumumkan oleh khayangan beberapa pekan kebelakang. Sebagian besar wilayahnya didera kemiskinan dan masih primitif. Namun sebagiannya lagi penuh kekayaan dan sudah modern. Ada celah yang menganga diantara keduanya. Jomplang.
Rakyat bertanya. Ada apa? Raja tak menggubris. Seolah tak ada apa-apa. Ia tutupi semua rasa penasaran rakyatnya itu dengan kebohongan, atau dengan cara termudah: berkilah kemudian diam. Persis  saat ditanya persoalan keterlibatan ibu, anak, adik, ipar, dan sanak saudara di lima wilayahnya tadi yang diakunya atas titah Tuhan melaui rakyat.
Rahasia demi rahasia disembunyikan. Keburukan demi keburukan ditutupi. Hingga seiring berjalannya waktu menjadi kebusukan yang bau. Sebagian besar telah menciumnya. Namun tak ada yang berani melapor pada khayangan. Kalaupun ada, pasti ia akan terlebih dahulu bertemu utusan sang raja di perjalanan. Kemudian ditikam, entah dari depan atau belakang, dan kemudian mayatnya dilempar begitu saja ke lautan.
Bau ini ditutup lebih rapat lagi. Semakin rapi tanpa cela. Rakyat hanya bisa diam, dan tak mampu berbuat apa-apa. Namun dalam diam itu mereka berdoa.
Hingga pada suatu masa Tuhan menjawabnya dengan mengirimkan sekelempok utusan untuk menggali kebusukan-kebusukan yang telah mengakar. Semua rakyat bersorak penuh bahagia. Penuh euforia kemenangan. Awal dari sebuah kemenangan tepatnya. Hingga kemudian masing-masing dari 10 juta jiwa rakyat kembali berdoa. Berdoa demi kemudahan utusan Tuhan tadi.
Oiya, raja yang kuceritakan padamu itu, bukanlah seorang lelaki yang kau bayangkan membawa pedang dan kemudian turun ke medan laga berperang sebagai komandan. Raja itu adalah seorang perempuan pertama yang menjadi raja di muka bumi. Dan hingga cerita ini ku sampaikan, ia masih menjadi raja perempuan terlama yang duduk di singgasana emasnya.
Dan tahu jugakah kau? Negeri yang kuceritakan itu bukanlah negeri di antah berantah tak bernama. Bukan pula negeri yang hanya ada dalam dunia khayal belaka. Negeri itu ada di dunia nyata. Ada. Dan dia punya nama. Nama itu milik sebuah provinsi di sebuah negara bernama Indonesia yang juga kota kelahiran dan tempat ku dibesarkan: Banten.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *