Setelah 616 hari ditinggalkan, akhirnya asrama di tanah Madani berpenghuni juga tadi malam. Setelah hampir dua tahun ‘mati suri’, akhirnya kehidupan tanah Madani kini berdenyut lagi. Dari Masjid Al-Madani kini terlantunkan lagi murattal sebelum dan selepas maghrib setiap hari. Setelah tertunda beberapa kali, melewati berbagai rapat, pertemuan, rencana, dan wacana, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu berbulan-bulan itu tiba juga: Pembelajaran Tatap Muka.
Semenjak dipulangkan Ahad, 15 Maret 2020 berdasarkan instruksi Gubernur Banten menindaklanjuti situasi COVID-19 saat itu, hingga kemarin Ahad, 21 November 2021 siswa-siswi CMBBS kembali ke asrama, semenjak itu pula semua kegiatan di kelas dan di asrama mulai dari KBM, tahfidz, tausiyah, PPDB, Scallop dilaksanakan secara virtual di tengah pandemi. Setelah semua itu, akhirnya angkatan 16, 17, dan 18 SMAN CMBBS merasakan juga atmosfer asrama tanah Madani. Kabarnya angkatan 17 menyusul belakangan.
Kembalinya penghuni baru dan lama ke Tanah Madani adalah hal yang patut disyukuri. Untuk diketahui, angkatan 16 dan 17, yang kini kelas X dan XI belum pernah merasakan atmosfer asrama CMBBS sama sekali. Pun angkatan 15, yang kini kelas XII, mereka baru 1 semester di asrama saat meninggalkan CMBBS 2 tahun lalu. Selain disyukuri, hal ini harus pula diikuti dengan memanfaatkan momentum yang mungkin tak akan datang lagi.
Momentum kedatangan dua angkatan yang benar-benar baru ke asrama harus dimanfaatkan. Ini seperti memulai kembali hampir dari awal. Mulai dari hampir nol. Ini seolah mendidik 2 bahkan bisa jadi 3 angkatan yang sama sekali belum tahu seutuhnya tentang boarding di Cahaya Madani, yang sama sekali belum tahu kehidupan asrama CMBBS sepenuhnya, yang sama sekali belum punya contoh bagaimana kehidupan di CMBBS yang ideal, yang sama sekali tidak punya kakak kelas untuk ditiru tingkah laku dan kehidupannya. Ini adalah momentum membangun kembali kebiasaan dan tradisi bahkan ekosistem baik yang pernah hilang dari Cahaya Madani. Ini adalah kesempatan menghidupkan kembali tradisi-tradisi dan kebiasaan yang ‘mati suri’. (Tentang tradisi ini, bisa baca juga catatan saya sebelumnya berjudul Penjaga Tradisi.)
Semua ini mengingatkan saya pada angkatan pertama CMBBS tahun 2005 saat masuk asrama enam belas tahun lalu. Tak punya kakak kelas dan tak punya contoh/teladan untuk ditiru selain pembina asrama dan guru yang tinggal bersama mereka. Ini persis 16 tahun lalu, yang keteladanan dan kedisiplinan langsung dicontohkan oleh pendidik yang tinggal di asrama.
Kita sama-sama tahu, bahwa biasanya kelas X selalu terlihat baik selama tahun pertama. Namun seiring berjalan waktu, seiring pengetahuan mereka akan kehidupan asrama dengan melihat kakak-kakak kelasnya, kebiasan baik itu perlahan menurun. Kedisiplinan itu menurun. ‘Kontaminasi’ itu memang benar-benar ada. Su’ul khulqi yu’di itu benar-benar terjadi. Itulah alasan membiasakan dan menjaga perilaku baik menjadi penting.
Kita juga sama-sama tahu bahwa asrama punya peran amat penting dalam penananaman nilai-nilai karakter dalam diri siswa. Kita yang pernah di boarding pasti tahu dan merasakan hal itu. Itu pula yang menjadi salah satu kelebihan sekolah dengan sistem boarding atau asrama. Sebagian besar pembentukan kepribadian, karakter, kedisiplinan, dibentuk di luar kelas dalam hal ini lingkungan asrama.
Momentum ini harus dimanfaatkan dan diupayakan. Upaya itu bisa dilakukan dengan mulai membiasakan tradisi-tradisi baik yang pernah dijalankan maupun yang pernah hilang. Mulai dari tradisi baik dalam belajar, beribadah, berbahasa, berpakaian, berperilaku, dan hal-hal lain terutama yang menyangkut kedisplinan. Sebagian tradisi itu saya catat di tulisan Penjaga Tradisi tadi. Dari sisi kebijakan juga bisa dengan menambah rasio yang tinggal di asrama (baik pembina asrama maupun guru) dengan siswa, serta mengoptimalkan keterisian mess sesuai peruntukan. Hal ini tak boleh dianggap sepele. Justru hal ini agar siswa merasa keberadaan mereka didampingi pengganti orang tua selama 24 jam, dan semakin banyak teladan yang dapat dilihat dan dicontoh oleh siswa di asrama atau di lingkungan sekolah.
Memulai dari nol memang bukan perkara mudah, tapi dengan melihat apa yang pernah ada di belakang, ini akan menjadi tidak terlalu susah. Pasti butuh dukungan dan keterlibatan semua pihak untuk bisa mewujudkan dan mengawalnya. Mulai dari wali asuh yang tinggal di asrama hingga kepala sekolah pemegang kebijakan tertinggi di lembaga.
Ini adalah momentum yang barangkali tak akan datang lagi berpuluh-puluh tahun ke depan. Semoga tak disia-siakan.