“Apabila meninggal seseorang, maka terputuslah darinya seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan.”
– Al-Hadits
Menjadi orang tua adalah sebuah pengalaman yang menakjubkan. Setiap dari kita yang telah menjadi orang tua pasti sepakat dan mengiyakan. Bagi saya pribadi, setelah menjadi orang tua, banyak hal-hal yang sungguh di luar dugaan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Pengalaman yang begitu melekat yang hampir mustahil terlupakan.
Dua tahun lalu, di awal pandemi, saya dan istri kedatangan anggota keluarga baru, anak pertama kami: Dzakky Muttaqin Nurmadani. Ia adalah putra pertama kami yang kehadirannya telah lama dinanti. Tepat dua tahun usianya di hari ini, tepat dua tahun pula peran orang tua disematkan pada kami.
Saat ia lahir ke dunia adalah saat dimana seluruh hidup kami berubah dalam satu malam. Semua prioritas hidup kami berubah dalam hitungan jam. Semua berubah begitu cepat. Segalanya tak lagi sama dalam sekejap. Kami belajar banyak hal baru saat ia lahir. Belajar bagaimana mengenal jenis tangisan, bagaimana tips dan trik begadang, bagaimana memandikan, bagaimana memakaikan pakaian, bagaimana menenangkan, dan bagaimana yang lainnya termasuk bagaimana mengelola emosi dan diri.
Membersamai tumbuh kembang anak kami adalah sebuah kebahagiaan yang tak terperi. Membersamai masa kecilnya adalah anugerah yang tak henti-hentinya kami syukuri. Memiliki kesempatan dapat membesarkannya bersama adalah kesempatan yang tak mungkin datang dua kali. Menemani ia tumbuh di masa keemasannya adalah hal yang tak boleh dilewati. Mendidiknya adalah anugerah sekaligus amanah terbesar dalam hidup kami.
Mendidik anak adalah ladang pahala dan kebaikan. Dalam agama, begitu banyak pahala dan kebaikan yang dijanjikan pada usaha-usaha yang berkaitan dengan anak: mencari nafkah, memberi keluarga sedekah, mengandung, menyusui, menyapih, merawat hingga mengasuh anak dengan susah payah. Rasulullah pun menyampaikan bahwa pengasuhan anak juga merupakan ujian. Ujian yang dilalui dan dijalani dengan kebaikan akan berbalas berlipat pahala kebaikan. Menjadi orang tua menyadarkan betapa berjasa dan berpahalanya orang tua kita yang telah mendidik kita hingga dewasa. Entah jika pahala itu bisa terlihat, pasti kita akan begitu terhenyak dan tercekat. Menjadi orang tua, bagi sebagian orang menjadi sebuah kebanggaan.
Anak juga investasi. Investasi ukhrowi bukan duniawi. Bukan aset yang katanya di masa depan musti menghasilkan dan memberi balik materi. Yang ditagih dan diharuskan memberi itu dan ini pada saat tua nanti. Yang telah menghabiskan sekian dan harus menghasilkan sekian di masa depan. Seakan ia adalah aset yang setara dengan ekuitas dan liabilitas yang harus dikembalikan. Bagi kami, anak adalah investasi akhirat yang hanya kami harapkan doa dan keshalihannya. Benih yang ditanam di ladang kebaikan lalu semoga tertuai di hari pembalasan.
Menjadi orang tua juga adalah ruang belajar sepanjang hayat. Pembelajaran yang tersurat dan tersirat. Termasuk belajar tak memaksakan ego pribadi pada anak. Maka kami pun belajar bahwa anak adalah titipan, bukan hak milik. Tak semestinya padanya kami bebankan: ambisi yang tak selesai, mimpi yang tak tergapai, dan cita-cita yang tak tercapai. Cukup akan kami beri ia pondasi dan bekal untuk di dua kehidupan: dunia dan akhirat. Maka jika suatu saat ia (di)kembali(kan) pada sang Pemilik (entah kami masih ada atau telah tiada), ia dapat kami relakan, bersama dengan bekal yang telah telah kami berikan.
Menjadi orang tua adalah amanah yang luar biasa. Semoga kami bisa melaksanakan dengan baik dan kelak dapat mempertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
Pandeglang, 07 Maret 2022