“Berapa banyak amalan kecil, akan tetapi menjadi besar karena niat pelakunya. Dan berapa banyak amalan besar, menjadi kecil karena niat pelakunya.”
– Ibnu Mubarak
Saya mengutip perkataan Ibnu Mubarak atau Ibnu Al Mubarak di atas, bukan dengan maksud akan membahas perkara niat. Tapi saya ingin mengambil pelajaran bahwa jangan pernah sesekali meremehkan amalan-amalan yang menurut kita kecil, karena belum tentu amalan tersebut bernilai kecil di sisi Allah. Bisa jadi yang justru sebaliknya. Kita tak pernah tahu amalan mana yang pernah kita lakukan, baik besar atau kecil, yang akan mengundang ridho Allah SWT. Saya menulis ini karena bagi saya relevan dengan apa yang akan saya tuliskan.
Tahun 2012 hingga 2017, ada sebuah sinetron berjudul Tukang Bubur Naik Haji yang cukup terkenal. Tak hanya sebatas sinetron, tukang bubur naik haji kemudian hadir di dunia nyata. Banyak kisahnya. Termasuk tukang bubur langganan saya di Pandeglang. Saya kaget ketika bertanya pada sang anak yang menggantikannya, kemana bapaknya beberapa hari ke belakang tidak ada. Sakitkah? Naik haji katanya. “Tukang bubur naik haji, sinetron yang menjadi kenyataan,” gumam saya dalam hati. Tak hanya tukang bubur yang naik haji, kini tukang koran atau loper koran pun bisa naik haji. Beritanya mungkin sudah membaca. Kisah seorang kakek loper koran yang bisa naik haji di Kota Bogor, yang menabung mulai 25 ribu rupiah tiap hari selama 11 tahun. Beritanya bisa dibaca di sini dan di sini.
Kebiasaan/Amalan Loper Koran yang Naik Haji hingga Kisahnya Masuk Koran
Naik haji memang tak pernah melihat profesi. Siapa saja, bisa naik haji. Bisa pejabat, bisa orang biasa, bisa artis, bisa ibu rumah tangga, bisa orang desa, bisa orang kota, bisa orang kaya, bisa juga orang miskin, bisa pebisnis besar, bisa juga tukang bubur bahkan tukang koran. Ini adalah catatan tentang bapak mertua saya yang selanjutnya akan saya sebut si Bapak, terkait kebiasaan atau amalannya yang tak banyak orang tahu. Ya, kakek loper koran yang dimaksud dalam berita itu adalah mertua saya.
Selama 8 tahun menjadi menantunya, saya perhatikan si Bapak punya beberapa kebiasaan atau amalan yang saya perhatikan konsisten dilakukan. Kebiasaan itu yang bisa saya lihat dan perhatikan. Ada pun amalan khusus, saya tak pernah tanyakan. Dari beberapa kebiasaan dan amalan itu, ada beberapa yang dapat dilihat langsung dan menurut saya konsisten tidak hanya semenjak saya jadi menantunya, tapi sudah dilakukan cukup lama jauh sebelum itu.
Shalat Jama’ah Hampir Tak Terlewat
Yang pertama, yang terlihat dan tentu menular adalah shalat jama’ah yang hampir tak terlewat. Jika saya dan istri menginap di Bogor, saya melihat bahwa si Bapak tak pernah bolong shalat jama’aah di mesjid. Dari shubuh hingga hingga isya, 5 waktu selalu di masjid yang jaraknya sekitar 100 meter dari rumah. Alhamdulillah saya pun jadi ikut-ikutan, walau kadang saya bolong. Bolong jama’ahnya maksudnya, bukan bolong shalatnya. Alhamdulillah shalat wajib mah ga pernah bolong. Dan dari cerita istri saya dan si Mamah (ibu mertua) bahwa beliau sudah terbiasa menjaga shalat berjama’ah semenjak kecil.
Berlama-lama di Mesjid
Si bapak adalah orang terakhir biasanya yang pulang dari mesjid selepas shalat jama’ah. Si Bapak biasanya mengisinya dengan shalat rawatib, dzikir dan sesekali kadang membaca Al-Qur’an. Seringkali si Bapak shalat jama’ah shubuh pulang ketika waktu dhuha, atau minimal pulang jam 6 pagi. Shalat jama’ah maghrib namun pulang selepas isya. Apalagi jika bulan Ramadhan, shalat tarawih, pulang menjelang sahur. Kadang Saya pernah beberapa kali pulang dari masjid berbarengan atau setelah si Bapak pulang. Saya perhatikan beliau membaca do’a itu panjang dan lama duduk terdiam. Mungkin di sini ada amalan-amalan yang si Bapak baca. Tapi saya tak pernah menanyakan tentang ini. Tapi si Bapak ini memang kalo baca doa terkenal lama dan panjang. Jika ziarah kubur juga bisa hampir 1 jam.
Mendo’akan Ahli Kubur
Di belakang masjid tempat biasa shalat berjama’ah, ada komplek makam kecil milik keluarga. Selepas shalat jama’ah dan jalan menuju rumah, si Bapak pasti menyempatkan mampir untuk sekedar berdo’a. Ini biasanya tidak lama. Kadang hanya berdiri di samping komplek makam, mengangkat tangan, lalu merapal sebaris dua baris do’a. Saya sesekali pernah pulang bareng, dan ikut berdiri di belakang si Bapak. Ikut mengangkat tangan dan membaca do’a ziarah kubur dan mendo’akan ahli kubur yang juga merupakan kerabat dan keluarga besar si Bapak dan si Mamah di Bogor.
Ringan Tangan Membantu Pekerjaan Istri dan Rumah Tangga
Tak banyak suami yang mau turun tangan membantu istri mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bahkan mungkin langka. Membereskan rumah, mencuci piring, menyapu rumah, mengepel, membereskan mainan anak, memandikan bayi, menimang, menggendong, mengasuh dan menidurkannya adalah pekerjaan yang tak mudah juga bagi orang tua terlebih bagi lelaki. Dari yang saya sebut di atas, si Bapak hampir tak pernah absen mengerjakannya bergantian dengan si mamah. Si Bapak menyapu, mengepel rumah, mencuci piring itu hal biasa yang kita temukan di keseharian jika kita menginap di Bogor. Mungkin iya pekerjaan memasak, mencuci baju, menyetrika lebih banyak dilakukan oleh istri. Tapi bukan tak mungkin juga dilakukan suami.
Selalu Memberi Makan Puluhan Kucing Setiap Malam
Kebiasaan yang terakhir ini mungkin tidak pernah terlewat sebagaimana tidak pernah terlewatnya shalat jam’aah. Si Bapak punya kebiasaan yang jarang orang-orang lakukan. Setiap malam selepas isya, si Bapak akan menyiapkan piring-piring kecil dengan jumlah sekitar 10 piring, mengisinya dengan nasi dan ikan tongkol lalu diaduk-aduk. Lalu piring-piring itu disimpan berjejer depan rumah. Lalu di datanglah dan berkumpulah puluhan kucing datang dari berbagai penjuru. Dari jalan gang, dari dalam rumah, dari atap, dari tangga, bahkan ada yang sudah menunggu depan rumah sejak maghrib.
Naik Haji Tahun 2024 Ini Setelah Tertunda Tahun 2023 Lalu
Setelah sempat khawatir karena beberapa hal, ada drama dan dinamika terjadi, akhirnya si Bapak naik haji di musim haji tahun 2024 ini. Bertetapatan dengan bulan Dzulhijjah 1445 Hijriyah yang InsyaAllah berangkat 19 Mei 2024 dan termasuk kloter awal. Rezeki memang tak pernah ada yang tahu. Sama seperti halnya kisah si Bapak yang seorang loper korang naik haji ini. Rezeki melalui jalan yang mana tepatnya yang membuatnya dapat naik haji. Entah dari dana talangan, dana dari si A, si B, dari anak-anaknya, atau dari hasil usaha sendiri. Itu semua tidak membatalkan bahwa Allah SWT lah Sang Pengatur Rezeki.
Allah SWT jugalah yang memilih dan menentukan karena hal apa Dia ridho terhadap seseorang. Apakah karena amal A, atau karena amal B. Karena ikhtiar A, atau ikhtiar B. Karena pertolongan si A, atau pertolongan si B. Maka pelajaran bagi saya pribadi bahwa setiap amal, baik itu kecil atau besar, selama niatnya baik dan benar, bisa jadi itu akan mendatangkan keridhoan Allah SWT. Dan jika Allah sudah ridho, mau ada atau tidak ada ikhtiar dan pertolongan diri sendiri dan orang lain, mudahlah bagi Allah untuk berkehendak ‘kun fayakun’. Seperti yang terjadi pada si Bapak. Walau sunatullahnya memang harus ada hukum kausalitas, tapi jika kembali lagi jika Allah memang menghendaki, bisa saja hukum kausalitas itu tidak ada.
Kisah Imam Malik dan Imam Syafi’i Terkait Konsep Rezeki
Sebagian dari kita barangkali sudah tahu kisah ini. Tapi saya sampaikan kembali garis besarnya.
Imam Malik, yang merupakan guru Imam Syafi’i, dalam majelisnya menyampaikan bahwa sesungguhnya rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan memberikan Rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya. Imam Syafi’i kurang setuju dengan apa yang gurunya sampaikan itu. Bahwa tidak seperti itu. Coba seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki. Kata Imam Syafi’i. Guru-bermurid itu bersikukuh pada pendapatnya masing-masing.
Suatu saat setelah majelis itu, Imam Syafii membantu serombongan orang yang memanen anggur dan memperoleh imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa. Beliau girang bukan main, bukan karena mendapatkan anggur, tetapi pemberian itu telah menguatkan pendapatnya. Bergegas dia menjumpai sang guru. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya, dia bercerita. Imam Syafii sedikit mengeraskan bagian kalimat “Seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu memanen), tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan saya.”
Mendengar itu Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Imam Malik berucap pelan “Sehari ini aku memang tidak keluar pondok…hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. ……Tiba-tiba engkau datang sambil membawakan beberapa ikat anggur untukku. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab. Cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan berikan Rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya.”
Keduanya kemudian tertawa. Dua Imam madzab mengambil dua hukum yang berbeda dari hadits yang sama. Begitulah cara Ulama bila melihat perbedaan, bukan dengan cara menyalahkan orang lain dan hanya membenarkan pendapatnya saja. Semoga dapat menjadi pelajaran buat kita semua.