“Sebaik-baik teman duduk sepanjang waktu adalah buku” – Pepatah Arab
Pameran Buku Islam terbesar di Indonesia, yang lebih dikenal dengan Islamic Book Fair, untuk tahun ini resmi dibuka siang tadi oleh salah satu tokoh nasional yang juga mantan wakil presiden Republik Indonesia, Pak Jusuf Kalla. Awalnya saya hendak menghadiri siang tadi, tapi besok saja main ke Senayannya.
Malam ini saya ingin bercerita tentang keranjingannya saya mengunjungi event tahunan semacam book fair ini. Keranjingan tidak hanya mengunjungi, namun juga merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli buku-buku yang diingini. Bahkan terkadang sampai menghabiskan pundi-pundi materi yang dimiliki. Setiap kesempatan itu ada, saya tak pernah membiarkannya begitu saja. Dan kesempatan itu hampir setiap tahun datang. Keranjingan ini dimulai sekitar 4 tahun lalu, saat dimana pertama kalinya saya berkunjung ke Islamic Book Fair saat itu.
Masih jelas dalam ingatan saya bagaimana pada hari itu, Kamis 11 Maret 2010, dengan menggunakan hak meninggalkan kelas yang diambil tanpa pikir panjang, saya meninggalkan 2 mata kuliah sisa selepas siang. Dari Serang, untuk pertama kalinya menuju Jakarta dengan berkereta, sendirian saja. Saat itu memang tak ada teman yang diajak ikut serta.
Ini akibat sebuah kabar tentang pelaksanaan Islamic Book Fair dari 5 sampai 14 Maret 2010 di Istora Senayan, Jakarta. Info dari seorang teman yang mengatakan bahwa buku-buku di sana dijual dengan harga miring, bahkan dibanting. Pun buku-buku Islamnya sangat lengkap melebihi toko buku manapun. Saya yang belum pernah mengunjungi book fair sama sekali, hanya mengiyakan tanpa mengajukan interupsi. Karena kebetulan saya mahasiswa Ekonomi Islam yang sedang mencari buku-buku pendukung kuliah yang harganya cocok dengan kantong mahasiswa. Kebetulan! Teriak saya dalam hati.
Namun sepulang dari sana, bukan hanya buku pendukung kuliah yang saya dapatkan, tapi beberapa buku Islam berhasil saya bawa pulang: Tafsir Mishbah Vol I, Perempuan, Jilbab karya Quraish Shihab, juga beberapa buku fiksi berupa novel seperti Tetralogi Laskar Pelangi saya beli. Saya agak lupa dan cukup tak menyangka dapat membeli buku sebanyak itu saat itu. Padahal untuk membeli buku Mata Kuliah saja harus iuran dengan teman semasa SMA yang kebetulan satu fakultas. Rezeki memang ada aja ya.
Maka Semenjak itu, saya tak pernah absen dalam beberapa book fair yang diselenggarakan di Jakarta di tahun-tahun berikutnya. Terlebih semenjak saat itu, saya makin akrab dengan kereta. Perjalanan Serang – Jakarta dengan berkereta menjadi biasa karena sering beperjalanan, yang tak hanya ke Jakarta.
Indonesia Book Fair, yang biasanya pertengahan tahun; Jakarta Book Fair yang tahun-tahun terakhir ini berganti nama menjadi Jak Book Fiesta, yang biasanya akhir tahun; bersama Islamic Book Fair, ketiga agenda itu saya tak pernah absen. Walau pergi kesana pernah hanya berkunjung tanpa membeli satu buku pun. Anggap aja refreshing. Lagipula tarif Serang – Palmerah 4000 rupiah saja dengan berkereta. Anggap saja pengurangan jatah makan siang.
Saat ini, begitu mudahnya menuju ke Senayan sana. Apalagi saat ini saya bekerja dan tinggal di sekitaran Bintaro, Tangerang Selatan, dekat stasiun pula. Untuk menuju ke Gelora Bung Karno hanya melewati 4 stasiun: Sudimara – Jurang Mangu – Pondok Ranji – Kebayoran – Palmerah. Turun di Palmerah tinggal jalan kaki sekitar 1 km. Bahkan bersepeda pun bisa jika ingin. Saking tidak ribet dan mudahnya, saya pernah mengikutsertakan beberapa santri pula.
|
Desain Poster Islamic Book Fair 2014 |
Saya terkagum-kagum pada ulama-ulama terdahulu yang begitu mencintai buku bahkan melebihi harta benda yang dimilikinya. Bahkan saya pernah mendengar seorang ulama yang menjual rumahnya demi untuk membeli beberapa buku dan manuskrip kuno. Maka apa yang saya belanjakan pada buku semenjak 4 tahun terkahir ini tak seberapa dibanding para ulama tersebut.
Saya adalah salah satu penikmat buku-buku cetak. Saya tidak terlalu suka pada buku elektronik atau yang biasa kita sebut e-book. Entahlah. Ada sebuah kenikmatan sendiri saat membaca buku cetak: mencium harum buku yang baru dibeli, membuka plastik yang membungkusnya, membolak-balik tiap halaman satu persatu secara perlahan, merasakan permukaan kertas yang disentuh telapak tangan, memandangi lembaran kertas yang dihiasi huruf dari tinta hitam, hingga memandangi lekat-lekat tiap huruf tersebut yang mengantarkan pada ilmu, kisah dan pengetahuan. Bagi saya semua itu adalah sebuah kenikmatan yang tak didapat pada e-book. Maka tak heran jika saya begitu keranjingan mengunjungi book fair hampir setiap tahunnya, dan menghabiskan sebagian besar –bahkan pernah semua, isi tabungan yang dimiliki untuk membeli buku. Saya keranjingan semenjak dulu ketika masih masa sangat amat menghemat karena bersaing dengan kebutuhan lain sebagai mahasiswa yang hidup dan menghidupi diri sendiri, hingga kini dengan penghasilan yang lebih dari cukup untuk menyisihkan sebagiannya untuk membeli buku-buku yang belum kesampaian dimiliki.
Maka semahal apapun, jika ingin saya miliki ia akan saya beli. Karena sebagaimana seorang teman, sebenarnya ia tak dapat dihargai. Buku terlalu amat berharga bagi saya. Ia memang pantas disebut sebaik-baiknya teman saat duduk, dimanapun. Terutama saat sedang menunggu: sesuatu ataupun seseorang.
Tapi saya yakin, setelah buku, yang akan menjadi sebaik-baik teman duduk sepanjang waktu, adalah kamu. 😀