Hingga Butir Terakhir

Kadang kita tak pernah tahu pasti alasan orang tua kita selalu mengharuskan kita menghabiskan makanan saat kecil dulu. Kita ikuti saja perintah itu walau harus dengan muka kesal dan ogah-ogahan. Selain karena tak ingin membantah orang tua, juga karena memang saat itu kita belum memiliki pemahamanan akan arti penting sesuatu. Orang tua kita biasanya mengatakan: sayang nasinya, kasian yang nanem padinya, kasian yang masaknya, atau nanti nasinya nangis lho. Bagi saya pribadi, kata-kata itu sebatas kata-kata biasa tanpa sebuah pehamaman berarti, sebelum sebuah peristiwa terjadi saat saya duduk di bangku SMA.

SMA saya menganut sistem asrama yang siswa-siswinya diharuskan tinggal 24 jam di sekolah. Maka sarapan pagi, makan siang dan makan malam pun harus selalu tersedia setiap waktunya. Saya kenal dekat dengan salah seorang yang bertugas memasak makanan setiap waktunya untuk kami dan seluruh penghuni sekolah. Sebut saja ia Pa Hamid. Berbeda dengan personil dapur lain, Pak Hamid ini tidak tinggal di sekolah. Rumahnya berada beberapa kilometer dari sekolah. Saya tak pernah tahu secara detail bagaimana kegiatannya memasak di dapur sekolah dan jam berapa saja ia masak untuk kami. Hingga datang suatu waktu memberitahukan saya akan perihal itu.

Saat itu, jauh menjelang shubuh terdengar seseorang menggedor-gedor pintu gerbang sekolah. Saya kebetulan berada tak jauh dari sana. Pak Satpam yang biasa jaga malam entah kemana. Di pos keamanan tak ada siapa-siapa. Mungkin sedang patroli keliling sekolah. Biasanya seperti itu. Saya lari ke pos keamanan untuk mengambil kunci dan membukakan pintu gerbang sekolah. Ternyata dibalik gerbang itu tak lain dan tak bukan adalah Pak Hamid. Saya kaget. Ia justru lebih kaget karena saya yang seorang siswa yang membukakan pintu untukknya. Saya bertanya mengapa pagi sekali datangnya. Harus masak, jawabnya. Saya tertegun mengingat saat itu shubuh pun belum dan jalan yang ia tempuh dari rumah menuju sekolah tidak seramai kota. Karena jumlah siswa yang banyak, sedangkan personil dapur sedikit, maka makan untuk sarapan pun harus mulai dimasak jauh sebelum shubuh. Dari sana saya tahu bahwa setiap harinya sebelum shubuh Pa Hamid selalu datang untuk memasak makanan untuk saya dan teman-teman saya, yang bukan siapa-siapanya. Mungkin karena alasan gaji? Tidak. Itu nomor sekian. Saya tahu persis dan punya jawaban untuk menyangkal alasan itu yang tak ingin saya ceritakan disini.

Di lain waktu, karena saya yang punya akses lebih untuk mengetahui persoalan-persoalan yang ada di sekolah, saya terlibat dalam sebuah masalah pelik berkaitan dengan makan. Pa Hamid yang saya jumpai di dapur sekolah saat itu, mengatakan sesuatu yang masih saya ingat hingga detik ini. Di akhir kalimat panjangnya saat itu ia berkata, “… yang penting anak-anak dulu bisa makan.” Dengan muka kusut karena masalah makanan yang memang terkadang menyita waktu dan fikiran ia masih sangat peduli pada kami. Yang sekali lagi, bukan siapa-siapanya sebenarnya. Saya terharu saat itu.

Kedua peristiwa itu terpatri dalam diri saya dan menjadi pengalaman yang amat berharga sekali bagi saya. Semua itu membuat saya merenung tentang bagaimana ibu kita yang selalu memasakan makanan terbaiknya untuk kita. Bahkan tak kenal waktu saat bulan puasa tiba. Dan dari sana pula, saya diingatkan pada perihal butir nasi saat masih dalam bentuk bulir padi. Mulai dari pesemaian hingga tiba masa panen yang butuh waktu berbulan-bulan yang dilakukan oleh para petani, dengan penuh kerja keras dan pengorbanan: tenaga, waktu dan materi.

Maka semenjak itu saya tak pernah menyisakan satu butir nasipun ketika makan. Bahkan jika lauk atau nasinya tak enak sekalipun. Sering sekali terjadi dalam pertemuan, undangan, atau sekedar jamuan makan, saya menjadi satu-satunya orang yang menghabiskan jatah makan, hingga melicinkan piring makannya bahkan. 😀

Bertahun-tahun kemudian setelah dua peristiwa itu, sebuah kisah saya dapatkan berkaitan dengan perkata habis-menghabiskan makan ini. Ini adalah kisah nyata milik seorang kiyai sebuah pondok pesantren.

Diceritakan bahwa seorang kiyai setiap kali hendak makan, setelah berdoa dan membaca surat Al-Fatihah, ia pandangi lekat-lekat makanan yang siap disantap, lalu kemudian berkata pelan, “Wahai nasi, mari masuk ke dalam perutku yang sudah kosong ini. Masukklah tiap butir dirimu ke dalam perutku. Mari kita beribadah kepada Dzat pemilik diriku dan pemilik dirimu. Menjadilah kau energi bagi tubuh lemahku ini agar aku dapat beribadah kepada-Nya.”

Ya, Sang kiyai mengajak bicara nasi yang ada di hadapannya itu. Ia selalu berbicara dengan makanan diatas piring yang tersaji sebelum menyantapnya. Mengajak mereka beribadah dengan cara mereka masing-masing. Baginya makan pun bisa mengandung nilai ibadah. Maka ia tak pernah menyisakan butir nasi dalam setiap kali makan. Karena ia percaya, dalam setiap butir nasi itu terdapat keberkahan dan akan menjadi energi yang dapat digunakan untuk beribadah.

Selain sebagai upaya kita menghargai petani dan yang memasak dengan menghabiskan makanan kita, saya kemudian tersadar, bahwa dengan tidak menghabiskan nasi milik kita, kita tidak tak pernah tahu bahwa di butir nasi yang tidak kita makan itulah justru terdapat keberkahan yang Allah berikan dalam setiap jatah makan kita. Itu mungkin alasan orang tua selalu menyuruh kita menghabiskan makanan kita. Bukan karena apa-apa, tapi mereka takut ada keberkahan yang tak masuk ke dalam tubuh kita diantara butiran nasi yang telah Allah rezekikan kepada kita.

Mari menjadikan makan sebagai bentuk penghargaan kita pada petani dan pada yang memasak makanan kita; juga sebagai bentuk empati kita pada orang-orang yang kurang beruntung diluar sana; dan yang lebih tinggi lagi, sebagai sarana ibadah kita kepada Allah SWT.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *