Do’a dalam Cita

Camara, 15 Juli 2013

Senin pagi, 15 Juli 2013, 08.25, aku menemukan diriku mematung sepersekian detik di dalam sebuah ruangan. Berdiri sendirian. Dihadapanku 18 anak usia 11-13 tahun duduk dengan rapi. Anak-anak itu begitu antusias, menunggu kalimat sambungan dari kalimat-kalimat milikku sebelumnya. Temanku yang berdiri di salah satu sudut ruangan pun melakukan hal sama, memandangku. Sama-sama menunggu.

Aku berada dalam satu ruang bersama Elsa Asri Aulia, seorang mahasiswi Biologi semester 4 salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung dan 18 anak berseragamkan sekolah dengan atasan putih -sebagiannya sudah tak bisa lagi dikatakan putih, dan bawahan merah. Sebagian dari mereka membawa tas, sebagian lagi tidak. Sebagian besar kaki mereka beralaskan sandal. Hanya segelintir anak yang menggunakan sepatu.

Aku masih dalam keadaan setengah percaya bahwa aku sedang berada di salah satu ruangan Sekolah Dasar Negeri Banyuasih 4 di Kampung Camara. Ya, pagi ini aku berada di ruangan yang semenjak dulu aku impikan, ruang kelas SD. Aku dan Elsa menjadi teman mengajar mulai hari ini. Bersamanya aku mendapat kesempatan mengajar kelas 6 di SD ini hingga seminggu kedepan.

Setelah briefing panitia kemudian mendapat arahan dari wali kelas 6, kami masuk kelas dan memulai perkenalan dengan anak-anak di kelas tertua disekolah ini.

18 dari 20 anak yang seharusnya hadir hari ini memperkenalkan diri satu persatu ke depan kami semua. Satu persatu menyebutkan nama juga cita-cita. Mulai dari anak bernama Reza di kursi paling depan yang  bercita-cita menjadi guru, hingga anak bernama Ajid di kursi paling belakang yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola. Ingin menjadi seperti Irfan Bachdim katanya. Bibirku tersungging mendengarnya. Aku dan Elsa perhatikan satu persatu mereka dengan seksama. Sesekali kami tersenyum melihat kepolosan mereka.

Selanjutnya aku hanya bergumam dalam diam. Bergumam pada Tuhan tentang cita-cita tinggi anak-anak desa terpencil di pedalaman Banten ini. Mengadu padaNya tentang cita dan asa mereka di masa depan dengan nama-nama yang berbeda: Guru, Ustadzah, Dokter, Pemain Bola, Presiden. Memohon padaNya semoga Dia menjaga mimpi-mimpi itu hingga masa depan menjemputnya. Aku hanya bisa berdo’a dalam diam.

Dan memang tak ada yang bisa yang ku lakukan, selain berdoa dan mengajak semua anak mengucapkan satu kata di setiap akhir mimpi teman-teman mereka saat maju ke depan kelas: Amin.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *