Peristiwa ini terjadi di sebuah akhir pekan pada pertengahan tahun lalu. Saat itu saya pergi ke Baduy Dalam bersama beberapa teman. Kami mencoba rute yang tak biasa orang lalui. Dan karena ini di luar rencana, maka semuanya menjadi tak terduga: kehabisan ongkos dan perbekalan, pulangnya tak ada kendaraan umum walau masih siang, juga harus berjalan lebih jauh daripada biasanya hingga kaki kami pegal semua. Sampai pada akhirnya secara bergantian kami mendapatkan tumpangan dari sebuah truk pengangkut kayu, mobil ELF yang sudah tak beroperasi lagi, dan mobil pick up dari Bojong Manik hingga stasiun kereta Rangkasbitung. Kami tiba di stasiun jelang akhir senja. Teman-teman saya pulang menuju Jakarta yang keretanya masih ada. Sedangkan saya yang tujuannya ke Serang harus duduk sendirian di stasiun karena kereta terakhir ke Serang telah lewat dua jam sebelumnya.
Bisa saja saya menunggu sampai besok hingga kereta menuju Serang datang. Namun besok pagi ada kegiatan di kampus yang tak bisa ditinggalkan. Dan karena besok kereta jam 10 pagi baru datang, maka mau tak mau malam itu juga saya harus pulang.
Hendak naik mobil, tapi tak memungkinkan karena uang di dompet telah habis, hanya selembar dua ribu rupiah yang tersisa. Di ATM pun hanya saldo minimal yang ada. Maka satu-satunya pilihan adalah menumpang kereta barang yang biasa lewat sekitar jam 10 malam. Saya sedikit hafal jadwal kereta tersebut karena kostan tak jauh dari rel kereta.
Ilustrasi (foto oleh Egi Mardani) |
Sepanjang perjalanan Rangkasbitung – Serang itu berbagai macam doa saya ucap. Asma Allah tak hentinya-hentinya saya rapal tak berkesudahan. Jika seandainya saya mati malam itu, setidaknya saya tidak dalam keadaan yang buruk-buruk amat. Begitu pikir saya saat itu sambil memandangi langit malam yang penuh bintang. Itulah hiburan saya satu-satunya saat itu. Tapi sayangnya hiburan itu tak berhasil melaksanakan tugasnya dengan sempurna. Saya tetap dibayangi perasaan-perasaan tadi.
Satu jam perjalanan, bahkan lebih, diantara gerbong itu adalah masa paling mendebarkan: berada di tengah gelapnya malam tanpa penerangan, di atas si ular besi yang berlari teramat kencang, dan bergelantungan di antara gerbong kereta barang tanpa izin, semua itu adalah sebuah tindakan bodoh yang justru telah melewati beberapa perhitungan sebelumnya. Walau semuanya tak tepat.
Lalu ternyata cerita saya tersebut tak berakhir hanya disitu. Uji adrenalin saya saat itu berlanjut dengan tidak berhentinya kereta barang yang saya tumpangi di stasiun Serang. Ia melaju terus hingga tiba di sebuah stasiun sebelum Merak. Saya tak hafal namanya. Lalu saya terpaksa berjalan kembali di tengah kota industri yang mulai lengang karena telah lewat tengah malam. Hanya beberapa mobil kontainer yang lewat yang saya temukan, ditambah pula pemandangan beberapa orang laki-laki dan perempuan dalam warung remang-remang. Ah, dasar! Laki-laki dengan dengan tatapan tak bersahabat menambah berkecamuknya perasaan saya saat itu.
Saya terselamatkan dari semua kengerian dini hari itu oleh seorang bapak baik hati yang memberi tumpangan menuju Cilegon, di mesjid Agung Cilegon si bapak berhenti.
Cerita petualangan saya saat itu diakhiri dengan tidur di depan gerbang mesjid yang terkunci, terhiasi rintik-rintik gerimis jam 2 dini hari, dan kucing-kucingan dengan kondektur kereta penumpang dari Merak yang hendak ke Tanah Abang melewati Serang saat paginya. Pagi itu bagi saya kostan adalah tempat ternyaman di dunia, bak semewah-mewahnya istana.