Cintai Sekedarnya, Benci Sepatutnya.

Benarlah sebuah mahfudzot (kata mutiara bahasa arab) yang berbunyi “ahbib habiibaka haunan maa ‘asaa an takuuna baghiidhoka yauman maa, wa abgidh bagiidhoka haunan maa ‘asaa an takuuna habiibaka yauman maa”.

Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, karena bisa jadi dia akan menjadi musuhmu suatu saat nanti, dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, karena bisa jadi dia akan menjadi kekasihmu suatu saat nanti.

Mahfudzot itu mengajarkan kepada kita untuk tidak mencintai dan membenci secara berlebihan. Untuk itulah agama pun melarang untuk menjadi orang yang fanatik (mencintai berlebihan) terhadap sesuatu. Begitu pula dalam hal membenci sesuatu dan/atau seseorang.

Ternyata hal ini berlaku tidak hanya dalam persoalan kekasih dan musuh, tetapi dalam mencintai/tidak mencintai segala hal. Entah itu hobi, kesukaan terhadap makanan, minuman, warna, atau apapun itu. Karena bisa jadi kita menyukai sesuatu hari ini, tapi entah tak ada yang tahu jika kita akan berbalik membencinya suatu saat nanti. Dan begitu pula sebaliknya.

Alangkah lebih baiknya kita tidak mencintai sesuatu secara berlebihan, fanatik istilahnya dan membenci sesuatu berlebihan pula, anti sebagian orang menyebutnya. Apapun itu..! Karena bisa jadi suatu saat keadaan itu akan berbalik.

Dan jika waktu itu benar-benar tiba, kita akan malu untuk mengakuinya dan berusaha untuk menutup-nutupi dan menyembunyikannya. Atau mungkin kita akan mengakuinya dengan mencari seribu alasan yang terkadang kita akan berbohong (mau tak mau untuk menutupi rasa malu) agar orang-orang menerima alasan yang masuk akal dan dapat diterima mereka.

Hal itulah yang menjadi pengalaman Penulis saat ia menjadi salah satu calon sarjana ekonomi. Padahal saat SMA dulu tak pernah terfikir dalam benaknya sekalipun untuk menjadi seorang calon ekonom. Saat membaca koranpun, jika telah tiba pada kolom bertuliskan Ekonomi dan Bisnis, tak pernah ia baca sedikitpun berita di dalamnya. Ia tak suka pada ekonomi tapi tak pernah ia begitu membenci atau anti terhadap ekonomi.

Andai saja ia benci atau anti saat itu, mungkin saat ini ia takkan bisa menerima apa yang ia jalani saat ini. Atau kemungkinan lainnya, ia menerima dengan penuh keterpaksaan dan mencoba mencari sebuah alasan agar orang-orang yang bertnya, “lho bukannya kamu dulu benci ekonomi??” dapat di jawab dengan jawaban yang mungkin menjurus pada kebohongan. Atau bahasa gaulnya, ngeles..!

Seperti itulah dunia.

(lho..???)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *