“Lumpat, Nas.. geuraan.geuraan..!” teriakku dalam bahasa Sunda pada Anas sekeras-kerasnya. Ia membalas teriakanku dengan lari sekencang-kencangnya.
Aku layaknya fans fanatik sepak bola yang sedang meneriaki salah seorang pemain kesayangannya menggiring bola menuju mulut gawang sendirian lalu menendang hingga menghasilkan sebuah gol. Itu teriakkanku paling keras hingga urat leherku terlihat jelas. Jikapun kemudian dipaksakan diteruskan, kemungkinannya hanya dua: esoknya takkan bisa berbicara karena kehabisan suara, atau urat leherku putus begitu saja. Kemungkinan yang terakhir adalah kemungkinan yang tak pernah aku temukan contohnya selama hidupku 10 tahun di dunia. Yang kuteriaki, Nasrudin namanya, seperti kuda balap yang sedang berlari dalam arena pacu. Larinya kencang. Seperti kesetanan. Tak ada yang bisa menandingi dan menghalangi. Ia memang salah seorang pelari paling cepat diantara kami yang ada di tanah lapang ini, tentunya setelah diriku.
Nasrudin adalah teman baikku. Kami sebaya. Usianya tak berbeda jauh denganku, hanya seminggu. Ia lebih tua. Aku lebih senang memanggilnya dengan nama Anas dibanding Udin seperti teman-teman lainnya memanggil. Bagiku nama Anas lebih ear-catching daripada Udin. Anas saat ini ada dalam kelompokku dalam permainan bebentengan, begitu kami anak-anak suku Sunda menyebutnya.
Bebentengan adalah permainan anak yang dimainkan oleh dua kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 5-8 orang. Dimainkan di tanah lapang. Tugas setiap kelompok menjaga benteng milik kelompoknya masing-masing berupa batu atau buah kelapa tua yang dibelah dua. Benteng disimpan di setiap ujung tanah lapang yang biasa kami gunakan bermain bola ini. Jarak kedua benteng sekitar seperlemparan tangan. Setiap kelompok berusaha meraih benteng satu sama lain dengan menginjaknya tanpa tersentuh lawan.
Anas sedang dikejar Raka, teman baikku juga, namun saat ini kami sedang dalam kelompok berbeda. Aturan lain dalam permainan ini, yang paling terakhir menginjak benteng sendiri adalah ia yang mempunyai kekuatan yang lebih besar untuk dapat menaklukan dan memenjarakan lawan. Si pemilik kekuatan besar ini akan mengejar lawannya untuk dapat dipenjarakan. Hingga kemudian ia akan dikejar lagi oleh lawan yang memiliki kekuatan lebih besar lagi, yang terakhir menginjak benteng milik kelompoknya sendiri. Begitulah seterusnya hingga ada benteng yang berhasil diinjak untuk menandai kemenangan. Anas telah lama tak kembali ke benteng hingga kekuatannya kalah oleh Raka yang baru menginjakkan kaki di benteng kelompoknya.
Cukup dengan menyentuh anggota badan, lawan akan dapat terpenjara. Anas terancam. Ia harus segera kembali ke benteng. Jika ia terpenjara, berkuranglah anggota kelompokku yang tinggal bertiga. Lima orang telah ditawan di penjara lawan. Untuk membebaskannya, kami harus bisa menyentuh anggota badan mereka. Dan itu tidaklah mudah, di dekat mereka ada lawan kami yang memiliki kekuatan lebih besar.
Penjara di sini pun hanya sebuah tanda. Sebuah batu besar yang diletakkan tak jauh dari benteng mereka. Biasanya jika tak ada batu, sendal yang ditumpuk juga dapat digunakan untuk mengumpulkan para tawanan yang terpenjara itu. Semakin banyak yang tertawan, semakin besar kemungkinan benteng mereka kosong akan penjagaan, dan semakin mudah untuk taklukkan dengan menginjaknya.
Sederhananya, pemenang dari permainan ini adalah kelompok yang berhasil menginjak benteng lawan pertama kali. Maka benteng dengan simbol kelapa terbelah dua itu kemudian layaknya benda keramat yang harus dijaga oleh setiap anggota kelompok dari sentuhan kaki musuh dengan mengelilingi sembari menginjaknya.
Ini adalah permainan terfavorit kami anak-anak laki-laki kampung Sukasari. Setelahnya ada petak umpet yang dalam bahasa kami disebut jajambalan dengan kalimat sakti ‘hong!’ dan jambal-nya. Adapula gatrik yang sering dimainkan pada bulan Ramadhan karena tak terlalu menguras tenaga sambil menunggu berbuka. Atau das-dasan yang dimainkan di teras rumah salah seorang dari kami jika hujan sedang turun. Namun jika ada kesempatan, tentu kami lebih memilih pergi ke lapangan bermain bola di bawah derasnya air hujan. Itu cukup sulit, karena kami harus bermain kucing-kucingan dengan orang tua.
“Benteeng..!” tiba-tiba sebuah teriakan diiringi sentuhan kaki pada buah kelapa tak terduga datang dari belakang. Keduanya berhasil menembus pertahanan benteng yang sedang kujaga berdua dengan Anas sekembalinya dikejar Raka tadi. Sedangkan Dira baru saja pergi meninggalkan benteng hendak menebus kelima teman kami yang sedang ditawan. Teriakan dan kaki itu milik Asep, lawan kami dalam pertandingan ini. Teriakan ‘benteng!’ adalah tanda bahwa benteng kami kebobolan. Rupanya Asep mengincar dari balik pohon mangga di belakang kami dari tadi. Ia dengan sigap lari secepat kilat saat ada kesempatan hingga berhasil menembus pertahanan benteng kelompok kami. Angka bertambah satu bagi mereka hingga mengubah skor menjadi 2-3. Artinya mereka telah tiga kali menyentuh benteng kami.
Seiring runtuhnya benteng kami oleh Asep, matahari senja kian memerah saja. Kami menyudahi permainan sebelum maghrib, setelah beberapa dari kami ada yang dipanggil oleh ibunya yang juga hendak pulang setelah mengobrol di rumah tetangga. Aku pulang membersihkan diri, lalu pergi ke surau di tengah kampung.
***
15 tahun kemudian. Di lapangan yang sama. Jelang senja. Masih di tanah lapang tanpa rumput hijau yang kugunakan bermain bebentengan dulu. Masih di tempat kelahiranku, desa Sukasari yang kini mulai menggeliat mempercantik diri. Masih di bawah pohon mangga di salah satu sudut lapangan tempat bersembunyi salah seorang temanku saat itu. Semuanya masih sama. Bedanya, tak lagi kulihat anak-anak bermain bebentengan seperti saat aku masih SD dulu.
Rupanya kini anak-anak di kampungku lebih suka bermain di sekitar jalan raya yang baru dibangun tiga tahun lalu daripada ditanah lapang penuh debu. Katanya disana ada toko bertuliskan ‘PS 3’ di pintu masuknya. Perkara toko itu menjual apa, aku sama sekali tak mengerti. Yang aku mengerti dan yakini, apa yang mereka jual pastinya lebih menarik dari bebentengan, jajambalan, main gatrik, main gobag, sepak bola di bawah hujan yang amat mengasyikkan itu. Rupanya bebentengan, juga kawan-kawannya, sudah tak dapat lagi mempertahankan diri. Ia telah runtuh. Puing-puingnya hanya dapat ditemukan dalam kenangan masing-masing dari kami. Ia, permainan terfavorit anak-anak laki-laki kampung Sukasari, telah pergi bersama masa kecilku tanpa permisi.
Lalu kira-kira apa yang akan kutemukan 15 tahun yang akan datang di kampungku ini? Entahlah.