Auto namanya. Pertemuan pertamaku dengannya saat SMP dulu. Saat ia menawarkan bangku kosong di sebelahnya padaku. Kami berteman baik sejak saat itu. Namun saat SMA kami berpisah, dan bertemu lagi di bangku kuliah.
Yang ku ingat, saat SMP ia hanya seorang murid biasa pada umumnya. Tak ada hal yang menonjol dalam dirinya, baik dalam prestasi atau prilaku kesehariannya di sekolah. Tak pernah ia mendapat juara kelas selama di SMP, juga tak pernah ia membawa kamera ke sekolah. Memilikinya pun tidak. Bahkan topik fotografi tak pernah menjadi pembicaraannya. Atau mungkin ia tak tahu apa itu fotografi. Tapi sekarang semuanya berbalik 180 derajat.
Dia begitu cerdas, dalam satu hal: fotografi. Yang dibicarakannya di setiap pertemuan kami adalah segala hal yang berbau fotografi. Yang dibahasnya saat berpapasan denganku adalah kamera model terbaru. Aku masih ingat, sebelum Canon EOS 1 Dx keluar pun beberapa bulan yang lalu, ia sudah tahu spesifikasi kamera pro itu. Bahkan sainganya yang menyusul kemudian, Nikon D4, ia ceritakan padaku kelebihan-kelebihannya dengan detail. Bak sales promotion boy saja dia.
Entah dari mana ia belajar fotografi. Dan dari siapa ia mengenal dunia itu, aku tak pernah tahu. Bahkan ia sendiri tak mengerti bisa mengenal dunia fotografi sejauh ini. Yang ia tahu dan mengerti hanya foto hitam putih yang ia miliki selama hidupnya. Foto di KTP-nya.
Aku sama sekali tak tahu tentang riwayat kefotografiannya. Yang ku tahu hanya ayahnya seorang buruh tani. Ibunya pedagang sayuran di pasar pagi. Dari siapa darah fotografinya mengalir? Entahlah katanya. Dari buyutnya barangkali. Tapi aku semakin yakin bahwa menjadi sesuatu tak harus ada darah sesuatu itu mengalir dalam diri kita. Tak perlu ada bakat. Yang hanya perlu ketekunan. Ketekunan itu yang akan menjadikan bakat.
Di usianya yang ke-20, ia bermimpi yang membuatku tercengang. Aku masih ingat apa yang dikatakannya saat itu. “Kau tahu, aku ingin menjadi satu-satunya fotografer profesional yang tak berkamera.”
Dan hingga kini, ia memang tak pernah memiliki satu jenis kamera pun. Walau begitu, ia begitu faham dengan apapun mengenai teknik fotografi: aperture, shutter speed, ISO, yang ia sebut segitiga eskposure. Bahkan tak melulu soal teknis. Etika fotografipun ia tahu. Bahkan ia biasa mengoprek kamera teman-temannya yang memiliki kamera kelas pro.
Bukan ia tak mau membeli kamera. Ia selalu menyisihkan dari hasil berjualannya. Ia tabung harta yang ia miliki. Ia tahan membeli hal yang tak berguna. Namun selalu saja terpakai oleh ayahnya yang selalu sakit-sakitan, atau untuk bayar SPP semesteran. Karena ia sudah mulai mandiri semenjak SMA. Maka terpaksa ia membuka tabungan kameranya. “Demi pendidikan tak apalah, Kawan..”
***
“Hei kau, melamun saja kerjaanmu. Mari ikut aku. Kita punya orderan baru”
Suara Auto mengagetkanku. Ia tampak serasi dengan kamera yang dibelinya beberapa hari lalu bersamaku. Dengan uang dari hasil beberapa order yang ia terima setahun terakhir, ia berhasil membeli sebuah kamera semi pro. Canon EOS 60 D. Walau ia tak lagi bisa menjadi fotografer profesional tak berkamera, tapi di mataku, setahun terakhir ini dia sudah menjadi apa yang ia tekadkan 5 tahun yang lalu.