Bekerja Adalah Menunggu

“Jika semua dijalani sesuai porsi, yakin tak ada yang salah dengan apa-apa yang kita jalani. Kita tak harus jadi gila kerja untuk menjadi kaya.” – Seseorang
Kita sepakat bahwa bekerja adalah upaya untuk menjaga keberlangsungan hidup di dunia, ia salah satu cara agar kita tetap bisa makan dan membiayai segala kebutuhan. Kita juga sepakat bahwa bekerja adalah salah satu bentuk kegiatan mengisi kekosongan, layaknya bermain, menyalurkan hobi, atau jalan-jalan. Bedanya, ia menghasilkan uang. Begitu bukan?
Bekerja dalam bayangan sebagian besar orang saat ini adalah bekerja dari jam sekian hingga jam sekian. Masuk jam delapan, lalu jam lima sore pulang. Sebagian beranggapan dan menuntut demikian. Lalu kita yang tak punya jam kerja seperti itu kadang dianggap tak mewakili kata bekerja sebagaimana mestinya, -sebagaimana definisi orang-orang kebanyakan lebih tepatnya, atau kita bahkan bisa dianggap tak memiliki prospek kehidupan yang layak di masa depan.
Bekerja dalam bayanganku adalah salah satu bentuk kegiatan untuk mengisi kekosongan dalam jeda dua waktu shalat. Dengan bekerja, -sama halnya dengan bermain, menyalurkan hobi, kita sesungguhnya sedang mengisi kekosongan waktu di antara satu waktu shalat dengan waktu shalat selanjutnya. Misal antara waktu shalat Shubuh dan Dzuhur, Dzuhur dan Ashar, dan seterusnya. Ia seperti sebuah kegiatan untuk menunggu. Ya, menunggu. Maka menunggu waktu shalat selanjutnya datang seharusnya menjadi hakikat kerja kita. Seperti hidup ini yang pada hakikatnya menunggu juga.
Dalam menunggu itu kita mencari kegiatan bermanfaat, baik untuk diri sendiri atau pun orang lain. Salah satunya ya kerja ini. Konsekuensi dari menunggu ini adalah ketika yang ditunggu telah datang, maka sudah seharusnya kita mengakhiri kegiatan menunggu itu, atau menundanya. Apapun kegiatan yang sedang dilakukan dalam masa menunggu itu. Karena menunggu adalah menunggu, dia hanya selingan, bukan tujuan. Sayangnya kita terkadang lupa akan hal itu. Kita seringkali lupa bahwa kita hanya menunggu dan juga (me)lupa(kan) yang ditunggu sesungguhnya telah datang.
Jika kita beralasan bahwa waktu shalat akan mengurangi jam kerja, mengurangi gaji kita, dan atau rezeki kita nantinya ikut berkurang juga, rasa-rasanya kita patut belajar pada orang-orang terdahulu: para sabiquunalawwaluun. Bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat meninggalkan segala pekerjaannya ketika waktu shalat datang. Apakah kemudian rezeki mereka berkurang? Sama sekali tidak. Justru rezeki mereka seolah bertambah dan beberapa tetap bisa menjadi kaya. Sebut saja Utsman bin ‘Affan dan Abdurrachman bin ‘Auf. Rasulullah pun begitu, hanya gaya hidup beliau saja yang sederhana. Bahkan bukan perkara harta saja mereka kaya, perkara amal pun tak beda. Mereka kaya harta dan kaya amal. Apa iya mereka mendapatkan semua itu karena mengurangi waktu shalat dan menunda shalat karena kerja? Atau bahkan karena gila kerja? Justru sebaliknya. Mereka menyerahkan perkara rezeki hanya pada pemilik dan pemberi rezeki itu sendiri.
Maka jika kita tetap bekerja saat waktu shalat datang, sesungguhnya itu telah mencederai hakikat kerja itu sendiri. Dan bahkan jika kerja itu justru mengganggu dan tak mempedulikan datangnya waktu shalat, makna kerja itu perlu dipertanyakan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *