Al-Akh dan Ukhti

Sedikit curhat sih ini mah, tulisan ringan dalam rangka mengisi kekosongan.

Saat masih SMA saya dan teman-teman saya menggunakan kata ustadz untuk memanggil semua guru. Tanpa kecuali. Selama ia guru dan mengajarkan kami ilmu. Hingga pernah terjadi kejadian lucu ketika guru ekstrakulikuler sepak bola kami yang didatangkan dari luar sekolah, kami panggi ustadz juga. Terkekeh-kekeh bukan kepalang Pak Ustadz Budi itu. 😀

Mengapa itu bisa terjadi? Tak lain karena sekolah saya menganut sistem boarding school. Dimana setiap muridnya diharuskan menggunakan Bahasa Inggris dan Bahasa Arab dalam setiap percakapan sehari-hari. Sebenarnya ada pengecualian penggunaan kedua bahasa itu: di dalam kelas, kepada para staff/karyawan sekolah, dan kepada orang luar. Namun ternyata sebagian besar dari kami lebih senang menggunakan Bahasa Arab, hingga tetap menggunakan kosakata-kosakatanya pada hal-hal yang dikecualikan tersebut. Nah, karena ustadz dalam Bahasa Arab jika diterjemahkan secara harfiah ke dalam Bahasa Indonesia bermakna guru, maka terjadilah apa yang telah saya ceritakan perihal Pak Ustadz Budi tadi.

Pun begitu ketika kami memanggil teman laki-laki kami dengan sebutan Al-Akh, dan dan teman perempuan dengan sebutan Al-Ukh. Namun seiring berjalannya waktu, sebutan Al-Ukh ini berubah menjadi Ukhti. Mungkin karena terasa lebih ringan di lidah. Tapi entahlah, hingga saat ini saya tak pernah tahu alasan pastinya. Tapi yang jelas, panggilan itu tetap bertahan hingga kami lulus. Walau tak lagi disana, penggunaan Al-Akh Ukhti itu tetap melekat pada hampir semua alumni.

Saat di perkuliahan, panggilan oleh teman-teman SMA tersebut menyebabkan saya, dan mungkin beberapa teman lain, dikira sebagai bagian dari kelompok tertentu di kampus. Walaupun saya bukan bagian dari kelompok tersebut. Bahkan lebih jauhnya, karena di dukung penampilan juga, saya berkali-kali dikira seorang kader sebuah partai tertentu. Hha. Ah, tak usah lah saya membahas terlalu jauh kesana. Namun yang jelas, saya merasakan bahwa telah terjadi penyempitan makna pada semua itu. Kalau pun ingin dialamatkan, bukan pada satu kelompok/organisasi saja, tapi kepada semua kelompok/organisasi yang menggunakan bahasa arab. Karena sebenarnya panggilan-panggilan itu hanya terjemahan dari bahasa Arab saja. Ustadz = guru, Al-Akh/Akhi = Saudara laki-laki (ku), Al-Ukh/Ukhti = saudara perempuan (ku). Sama halnya seperti Brother dan Sister dalam Bahasa Inggris. Dan panggilan-panggilan itu tak ada sedikit pun hubungannya dengan tingkat kebaikan atau keshalihan seseorang. Kejauhan.

Yang jelas bagi saya pribadi, dipanggil Al-Akh ataupun kakak oleh adik-adik kelas semasa SMA setelah lulus, sama saja. Tak ada bedanya. Atau mungkin hendak dipanggil nama langsung pun tak apa. Toh semuanya sudah menyandang ‘gelar’ yang sama: alumni. Dan sama-sama mahasiswa. Tak ada senior dan junior sebenarnya. Apalagi jika nanti sudah bekerja.

Tapi yang unik di antara kami, di antara teman seangkatan SMA saya terutama, hingga saat ini ada saja yang masih memanggil Al-Akh dan Ukhti kepada teman seangkatannya. Bukan karena kami bagian dari kelompok/organisasi tertentu di kampus atau dunia luar. (Walau memang ada beberapa sih). Tapi seperti halnya diri saya, itulah cara kami mengobati kerinduan pada masa tak terlupakan dalam perjalanan hidup kami di dunia ini. #tsaah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *